Selasa, 14 Februari 2012

Syarat Menjadi Guru Yang sempurna


Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah: 
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
·          

Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.

Thariqah
Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.

Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.

Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.

Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupkan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.

Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.

Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.

Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.

Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.

(Penulis adalah pengasuh Ponpes al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di persatuan thariqat se-Indonesia).
·          

Ruh yang memikul Amanat itu adalah ruh istimewa manusia (ar-ruhul khassah lil insaan). Yang kami maksudkan dengan amanat adalah penguasaan terhadap janji taklif dalam bentuk keterbukaan terhadap kemungkinan memperoleh pahala dan siksa dengan kepatuhan dan kedurhakaan. Ruh ini tidak pernah mati dan tidak pula binasa, malah justru kekal setelah mati; baik itu dalam kesenangan dan kebahagiaan ataupun dalam Jahannam dan kesengsaraan. Itulah ruh tempat ma’rifat. Pada dasarnya tanah tidak memakan tempatnya iman dan ma’rifat, seperti yang dibeberkan oleh hadis dan disaksikan oleh kesaksian-kesaksian kontemplasi. Ajaran agama melarang meneliti sifat dan karakteristik ruh tersebut, sebab yang bisa menjangkaunya hanyalah orang-orang yang mendalam ilmunya (arrasyikhuna fil-ilmi).
Bagaimana hal itu akan dituturkan atau diceritakan, padahal ruh itu memiliki karakteristik-karakteristik yang menakjubkan yang belum mampu ditangkap atau dicerna oleh sebagian besar pikiran atau salah satu lubang dari lubang-lubang neraka, sebab hubungannya dengan badan hanya berupa pemanfaatan badan sebagai instrumen pemburu pengetahuan melalui sarana jaring indera. Jadi, badan atau tubuh merupakan alat, kendaran dan jaring ruh. Kepunahan atau kebinasaan alat, kerusakan kendaraan dan jaring tidak mengharuskan rusaknya si pemburu.

Benar, jika jaring atau perangkap itu rusak sehabis berburu, maka kerusakannya (kebinasaannya) merupakan harta rampasan, sebab dia terhindar dari beban. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda, “Maut itu merupakan sesuatu yang amat berharga bagi orang Mukmin.”

Jika jaring itu rusak sebelum berakhirnya pemburuan, yang terjadi adalah kerugian, rasa sesal dan duka yang amat sangat. Karena itulah, orang lalai berkata:
“Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (Q.s. Al-Mu’minun: 99-100).

Akan tetapi, jika ia suka pada dunia, menyenanginya dan kalbunya juga mencintainya, kemudian ia juga memperindah bentuknya dari apa yang berkaitan dengan dunia, maka siksa yang menimpa padanya justru menjadi dua kali lipat: Pertama, kerugian karena habisnya masa berburu yang hanya bisa dilakukan dengan jaring-jaring tubuh. Kedua, hilangnya jaring-jaring berikut rasa cintanya terhadap jaring tersebut.
Ini merupakan salah satu asas pengetahuan tentang siksa kubur. Jika terus menyelidiki secara mendalam, Anda akan mengetahui hakikatnya secara pasti.
Barangkali Anda ingin menyelidikinya secara mendalam hingga mengetahui hakikatnya. Di sini perlu Anda ketahui, bahwa buku ini tidak mencakup hal tersebut; Anda cukup merasa puas dengan contoh-contoh kecil. Seyogyanya Anda paham bahwa maut itu adalah hal yang membinasakan tubuh. Anda tahu, bahwa rusaknya tangan adalah ketika tangan tidak lagi mematuhi Anda, padahal fisiknya masih utuh, sementara kekuatannya lumpuh. Dengan kekuatan tersebut Anda bisa memanfaatkan tangan.
Maka, Anda harus paham dan mengerti bahwa maut merupakan hancurnya kekuatan energi tubuh. Kemudian maut itu merusak Anda, tangan, kaki, mata dan seluruh indera Anda, sementara Anda sendiri tetap kekal. Yakni hakikat atau jatidiri Anda, dimana dengan jatidiri itu, Anda adalah Anda.
Sekarang Anda adalah manusia seperti dalam keadaan masih bayi, barangkali tidak satu pun dan jasad-jasad Anda itu yang melekat pada diri Anda. Semuanya telah punah, dan hal itu bisa terwujud dengan adanya makanan sebagai penggantinya. Sedangkan Anda adalah Anda, jasad Anda bukanlah jasad itu.
Andaikata Anda memiliki seorang kekasih yang sangat Anda rindukan, melalui indera-indera Anda, maka perpisahan dengan kekasih Anda itu merupakan siksa yang amat pedih.
Seluruh kelezatan dan kenikmatan dunia sangat disenangi dan dirindukan, namun tidak dapat dicapai kecuali dengan indera. Tidak ada bedanya siksaan bagi si pemabuk cinta, apakah ia dipisahkan dengan kekasihnya atau ia dibatasi oleh tirai dan dengan mencungkil biji matanya sebagai siksaan. Atau dia diculik dari kekasihnya ke sebuah tempat, hingga dia tidak dapat melihatnya. Rasa pedih yang dialaminya karena tidak dapat melihat atau memandangnya.
Orang yang mencintai harta, keluarga, perabot rumah, budak wanita dan pakaiannya, merasakan kepedihan ketika berpisah dengan semua itu. Apakah semua benda dunia itu dirampas orang atau dia sendiri dijauhkan dari benda-benda tersebut, seperti ketika hartabenda itu dipindah ke tempat lain, lalu dibangun tirai di antara dirinya dan barang-barang miliknya itu.
Mautlah yang menghancurkan Anda dan harta-benda tersebut, dia menjadi dinding antara diri Anda. Rasa siksa dan kepedihan yang menimpa Anda bergantung pada sejauhmana Anda mencintai dan menyukai barang-barang tersebut.
Maut mempertemukan Anda dengan Allah, dan memutuskan hubungan Anda dengan segenap indera yang menyibukkan dan membingungkan. Kenikmatan dan kelezatan Anda menghadap Allah bergantung pada kadar rasa cinta Anda kepada-Nya, kesenangan Anda mengingat dan menyebut-Nya. Karena itulah, Allah memberi peringatan kepada Anda, Dia berfirman dalam Hadis Qudsi, “Aku adalah bagianmu yang pasti, maka pastikan dan tekunilah bagianmu.”

Ungkapan terlengkap untuk mendeskripsikan kenikmatan dan kebahagiaan surga adalah, “Sungguh bagi mereka di dalam surga adalah apa yang mereka senangi dan mereka sukai.”
Ungkapan yang paling sempurna untuk mewakili dan mendeskripsikan siksa akhirat adalah firman Allah yang berbunyi:
“Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini.” (Q.s. Saba’: 54).

Yang membuatnya lezat hanyalah selera, namun kelezatan itu muncul ketika bertemu dengan apa yang diingini, dan tak ada yang menyedihkan, kecuali selera itu pula. Kepedihan datang ketika berpisah dengan yang apa dicintai.
Sekarang Anda jangan sampai tertipu dengan menyatakan, “Jika hal ini merupakan sebab dari siksa kubur, maka akujelas bebas dan aman dari siksa tersebut, sebab tidak ada ikatan hubungan antara kalbuku dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi.”
Hal ini tidak akan dapat Anda ketahui dengan sebenarnya, selama Anda belum membuang dunia dan keluar dari dunia sepenuhnya. Berapa banyak laki-laki menjual budak wanitanya, dengan dugaan bahwa tidak ada kaitan hati apa pun antara dirinya dengan dia. Namun, setelah budak wanita tersebut dibawa oleh si pembeli, kalbunya menyala dalam api perpisahan, dan terus berkobar. Bahkan, bisa-bisa ia bunuh diri karenanya, dengan menenggelamkan diri ke dalam sungai atau lautan, atau membakar diri pada kobaran api.
Demikian pula dengan kondisi Anda dalam kubur tentang segala hal duniawi yang disenangi oleh kalbu Anda. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda, “Cintailah apa yang kamu cintai, sebab sesungguhnya kamu akan berpisah dan meninggalkannya.”

Di balik ini ada siksa yang lebih dahsyat dari hal di atas, yaitu penyesalan ketika dirinya terhalangi memandang wajah Allah Yang Maha Mulia.
Besarnya nilai yang hilang tersingkap dengan kematian, walaupun sebelum mati nilai tersebut sangat kecil menurut Anda, karena maut merupakan sebab dari ketersingkapan, ketampakan yang sebelumnya tidak tampak. Sebagaimana tidur merupakan sebab dari tersingkapnya hal-hal gaib, melalui lambang ataupun tanpa lambang.
Tidur adalah saudara kematian. Hanya saja nilainya lebih rendah. Itulah dua bentuk siksa yang berlipat ganda atas setiap orang mati, karena lebih mencintai selain Allah. Suka citanya ditujukan pada selain Allah dibanding kecintaannya kepada-Nya. Dua-duanya sangat penting, jika Anda mengetahui hakikat ruh dan keabadiannya dalam kehidupan setelah mati, serta hubungan atau kaitan-kaitannya, dan hal-hal yang kontra dan selaras naluri manusia.
·          

1 komentar: